Ketika
saya memutuskan untuk meninggalkan aktifitas mengajar dan berpindah ke
asuransi saya memberitahukan hal ini pertama kali kepada seorang teman
bernama Kusno, manajer penjualan agen kendaraan bermotor.
Saya
sampaikan bahwa saya sekarang beralih profesi, dan dia senang
mendengarnya. “Akhir-akhir ini saya sedang berpikir untuk membeli
asuransi jiwa dan sekarang saya akan membelinya darimu,” kata Kusno.
Kusno
menyambut kedatangan saya dengan baik. “Pak, tolong buatkan saya
program yang menurutmu diperlukan dan bermanfaat buat saya serta
keluargaku.” Saya pun segera menyusun sebuah rencana perlindungan untuk
keluarga Kusno.
Setelah
saya berikan program tersebut kepadanya dengan pesan agar dia segera
menjalankan program ini, maka Kusno berjanji akan segera mempelajari dan
memberi kabar secepatnya.
Keesokan
harinya, Kusno mengatakan, “Pak, program yang kamu buat cukup bagus dan
saya setuju. Tapi saya harus menunggu beberapa saat untuk membelinya.
Saya mempunyai beberapa lembar saham. Jika saya mengeluarkannya
sekarang, maka saya akan rugi. Saya yakin dalam beberapa saat nilainya
akan naik. Dan setelah itu saya akan segera membelinya. Datanglah minggu
depan, Pak.”
Hal
ini berlangsung selama 6 minggu. Akhirnya hari Kamis saya bertemu
dengan Kusno di rumahnya dan dia tersenyum dan berkata, “Pak, nilai
saham saya akan naik. Saya akan segera menjualnya beberapa saat lagi.
Temui saya hari Senin!”
Dengan perasaan lega, saya kembali ke kantor. Saya merasa telah menjual polis dengan nilai cukup besar.
Hari
Senin tiba, saya segera menemuinya. Saya pun tiba di rumahnya, Namun
saya sangat kaget, Kusno terlentang di dalam sebuah peti. Dia meninggal
!!!
Rupanya
hari Jumat, dia bekerja penuh. Sabtu pagi sakit dan instrinya berusaha
menghubungi dokter. Ketika dokter tiba di rumahnya, terlambat, keadaan
Kusno sudah cukup parah. Terjadi penyempitan dalam paru-parunya. Sabtu
pagi itu Kusno meninggal. Melihat Kusno terbaring dalam peti, saya memahami makna dari asuransi. Berulang kali saya mengatakan, saya telah gagal, saya telah gagal, saya telah gagal.
Beberapa minggu setelah pemakaman, janda Kusno mulai menjual rumah yang dia tinggali bersama anak-anaknya. Tanpa penghasilan dari suami, mereka tidak mampu memenuhi segala kebutuhan hidup yang harus ditanggungnya.
Dua anak laki-laki dititipkan kepada kakak kandungnya, sedangkan
istrinya tinggal di luar kota dengan saudara perempuannya bersama dengan
ketiga anak perempuannya.
Tidak ada yang mampu menggantikan asuransi.
Karena itulah asuransi bagaikan sebuah obsesi bagi saya. Asuransi
bagaikan keyakinan bagi saya. Siapapun yang saya jumpai, pasti akan saya
minta untuk memiliki produk yang indah ini. Saya bersyukur kepada
Tuhan, karena Dia telah menciptakan saya sebagai seorang Agen Asuransi.
Manfaat
asuransi tidak bisa dirasa begitu kita “membeli”nya. Beda dengan
makanan, minuman atau rokok sekalipun. Makanan sekali beli, makan,
kerasa enaknya…langsung Mak Nyuus. Kalau kita bisa melihat masa depan
atau yang akan terjadi, bisa tahu kapan kita masuk rumah sakit, kapan
kita kecelakaan dan tahu saat kita akan meninggal, mungkin asuransi
tidak dijajakan oleh para agen tetapi dijual bebas di mal-mal dan orang
akan berbondong-bondong antri membelinya. “Duh besok gue kayaknya mau
opname deh kena demam berdarah 10 hari, anterin gue beli asuransi yuk di
Mall sana” atau “Pak Wit, beli asuransi enaknya dimana ya? saya besok
mau mati nih, mau kasih warisan buat anak istri ku”. Ingat, Penyesalan selalu datang terlambat.
Prinsip
bahwa asuransi adalah pengalihan resiko atas kejadian-kejadian yang
berhubungan dengan jiwa kita, belum tertanam kuat. Kita rela bayar Rp 15
ribu rupiah buat parkir mobil berjam-jam di Mangga Dua karena berharap
mobil kita aman, berada di lokasi yang kemungkinan kecil dicuri orang
dibanding diparkir dekat Kebon Kacang. Rela bayar iuran keamanan
kompleks untuk bayar satpam yang bertugas mengamankan rumah kita. Tapi kenapa untuk kesehatan dan jiwa diri sendiri nggak Ya?